Ruang Kreatif dan Diskusi sebagai Titik Tumbuh Bagi Lintas Generasi Cepu Raya
Udara sore di Jalan Pramuka, Cepu, Rabu, (7/5/2025) terasa lebih hangat dari biasanya. Bukan karena kemarau telah tiba, melainkan karena hadirnya semangat baru dari sekelompok aktivis, pelajar, akademisi, jurnalis, hingga tokoh masyarakat dalam acara peluncuran program Ruang Kreatif “Ruang untuk Kawan” yang digagas oleh Hayat Institute, sebuah organisasi non-pemerintah (NGO) yang aktif bergerak di bidang sosial, pendidikan, dan budaya di wilayah Kawasan Cepu Raya.
Peluncuran ini tak sebatas peresmian ruang fisik. Namun menjadi simbol komitmen kolektif untuk menciptakan ruang aman, kreatif, dan inklusif bagi masyarakat lintas usia dan lintas profesi di kawasan perbatasan Jawa Tengah–Jawa Timur ini. Di hari yang sama pula, dimulai sebuah forum diskusi rutin bertajuk Diskusi Rabuan “Titik Tumbuh”, yang kali pertama mengangkat tema IAMBLORA: #tumbuhbersama.
Gagasan dan Komitmen Hayat Institute untuk Mengakar di Tanah Sendiri
Dalam sambutannya, Ahmad Rouf, Ketua Hayat Institute, menegaskan bahwa Ruang untuk Kawan dibentuk sebagai media alternatif bagi masyarakat Cepu Raya untuk bertemu, berbagi, dan membangun gagasan. Lebih dari itu, program ini juga merupakan bentuk dukungan nyata terhadap inisiatif Pemerintah Kabupaten Blora yang sedang mengembangkan Blora Creative Space sebagai bagian dari ekosistem ekonomi kreatif daerah.
“Kami membuka ruang ini untuk siapa pun: aktivis, LSM, akademisi, bahkan tukang kayu, petani pesanggem, seniman jalanan, dan tentu jurnalis. Kami ingin sekretariat ini menjadi titik temu lintas komunitas, bukan hanya ruang kosong yang elit,” ujar Rouf.
Bukan tanpa alasan. Wilayah Cepu Raya dikenal sebagai kawasan kaya sejarah dan sumber daya alam. Namun, selama bertahun-tahun wilayah ini sering kali terpinggirkan dari narasi pembangunan utama. Hayat Institute ingin memotong jarak itu, dimulai dari ruang kecil: ruang untuk kawan.
Warna-warni Komunitas Bukti Nyata Kolaborasi Akar Rumput
Acara launching ini dihadiri oleh beragam komunitas dan perwakilan elemen masyarakat, antara lain Rumah Juang Foundation, Komunitas Sapoe Sodo, Komunitas Ekonomi Kreatif, Perwakilan Mahasiswa STTR Cepu, Humas dan siswa SMAN 1 Cepu, Petani Pesanggem Ledok, Komunitas Tukang Kayu Randublatung, serta jurnalis dari Cepu dan Blora.
Kehadiran beragam unsur ini menunjukkan antusiasme yang tinggi terhadap lahirnya ruang dialog alternatif. Perwakilan mahasiswa dan pelajar menyampaikan harapan agar forum seperti ini dapat terus berlanjut dan memberi ruang aktualisasi diri di luar bangku formal.
![]() |
Totok Supriyanto |
Menggali Sejarah, Menanam Gagasan Melalui Diskusi Titik Tumbuh
Sesi diskusi perdana dari program Titik Tumbuh menghadirkan Totok Supriyanto, sejarawan dan Ketua Komunitas BUMI BUDAYA Blora, yang secara khusus membahas topik “Aktivasi DNA Cepu: Ikon Kemajuan Industri Jawa”. Dalam paparannya, Totok menggugah kesadaran kolektif bahwa Blora dan Cepu telah memiliki akar industrialisasi sejak masa lalu.
Ia menyajikan sejarah Sumur Minyak Ledok di Sambong, serta kekayaan Kayu Jati Blora yang telah dikenal sejak zaman kolonial. Namun lebih dari itu, Totok mengungkapkan fakta-fakta sejarah yang kerap diabaikan dalam narasi resmi.
“Sebelum pemerintah kolonial mengebor sumur minyak pertama, masyarakat lokal sudah lebih dulu memanfaatkan rembesan minyak untuk penerangan. Ini warisan pengetahuan yang dihapus dari sejarah arus utama,” ujar Totok.
![]() |
Ketua Rumah Juang Foundation, Exi Agoes Wijaya |
Gagasan Berani dari Rumah Juang Foundation Membalik Kutukan SDA
Menanggapi paparan Totok, Ketua Rumah Juang Foundation, Exi Agoes Wijaya, mengajak para peserta diskusi untuk menafsir ulang teori “Kutukan Sumber Daya Alam”. Ia menolak anggapan bahwa kekayaan alam otomatis membawa bencana sosial. Menurutnya, segalanya bergantung pada tata kelola.
“Sumber daya tidak pernah jadi kutukan. Yang menjadi kutukan adalah ketika tidak ada regulasi yang adil, manajemen yang bersih, dan keberpihakan terhadap masyarakat,” tegas Exi.
Ia bahkan memberikan perbandingan kontekstual: antara Korea Utara dan Korea Selatan, juga antara Bojonegoro dan Blora. Dua wilayah yang sama-sama memiliki potensi alam, namun berbeda hasil karena perbedaan pendekatan dan komitmen masyarakat serta pemerintahnya.
“Belajar dari sejarah itu wajib. Jangan hanya mewarisi kekayaan alamnya, tapi warisi juga daya juangnya,” pesan Exi kepada pelajar dan mahasiswa.
Dukungan Dunia Pendidikan, Ruang Kritis Bagi Siswa
Sri Hartatik, Humas SMAN 1 Cepu yang turut hadir mendampingi siswanya, memberikan dukungan penuh atas partisipasi pelajar dalam forum ini. Ia menilai, ruang semacam ini bisa menjadi pelengkap pembelajaran yang lebih kontekstual dan melatih nalar kritis siswa sejak dini.
“Diskusi semacam ini bisa menjadi ajang belajar demokrasi yang konkret bagi siswa. Tentu saja, kami tetap melakukan kontrol agar tetap seimbang dengan tugas dan tanggung jawab mereka sebagai pelajar,” ujarnya.
Sebuah Ruang Bernama Harapan Bagi Lintas Generasi Cepu Raya
Ruang untuk Kawan dan Diskusi Titik Tumbuh bukan hanya acara sekali jalan. Ia adalah ruang bernama harapan, tempat gagasan tumbuh dan sejarah lokal dipulihkan, serta tempat generasi muda belajar berdialog dengan masa lalu dan merancang masa depan.
Hayat Institute melalui inisiatif ini telah membuktikan bahwa perubahan tidak selalu datang dari pusat kekuasaan. Ia bisa dimulai dari sebuah rumah kecil di sudut kota, asalkan dihuni oleh semangat besar dan tangan-tangan yang mau bekerja sama.